Doa Kiai
; Drs. KH. Abdul Warits Ilyas
pukul tiga pagi
saat burung-burung masih tidur
di atas masjid
warna langit hitam-kelam
pendar cahaya lampu membentuk seamsal jalan
menuju negeri di atas awan
surga damai para kekasih
kubah masjid yang hijau
rekah dalam pekat
dari dalam jelaga
sebelum bunga-bunga mimpi bermekaran
ada yang lebih dulu bersunyi-sunyi
mengakrabi desir gelombang lautan doa
sajadah dan nasib seluruh dada dibasahi air mata
pukul sebelas malam
saat burung-burung telah tidur
ada yang masih duduk setia memutar biji-biji tasbih
merawat pohon istikamah di hatinya
agar tak layu bebunga iman
dan terus menerus ranum buah dawuh
yang jatuh dari sejuk bibirnya
sebentar lagi ayam pasti berkokok
membangunkan apa saja
selain doa kiai yang terus melambung di udara
Ibna Asnawi,
Annuqayah, September-Oktober 2018
Sabtu Bersama Duka
Seusai subuh mengetuk perantauanku
Mentari pucat tanpa hujan pagi ini
Izinkan aku kembali menyempurnakan diksiku
sebagai pengantar kopi hambar seusai telingaku miang pada ribuan doa
meski kembali dengan epilog sama, dan hari yang sama
sepanjang perantauan ini, masih belum kulunasi kealpaanku pada empat podasi ruang Tuhan tak bernada.
Sedangkan aku masih buta pada kitab peradaban yang telah lama mereka selami.
Dua bidang pipiku basah ketika tau takdir tak lagi selaras dengan Jalan Tuhan
Seratus, dua ratus bahkan ribuan makhluk mengiringi kepulangan dua diantara mereka
Aku hanya dapat melantunkan ayat-ayat Tuhan setiap kali derap waktu ingin bicara
Dengan apalagi aku dapat memetik rindu kala sunyi lapuk pada setiap inci keilmuan,
Jikalau tidak dengan matra ketawadhuan mereka
Hingga akhirnya aku tau, hujan sabtu kali ini sebagai racikan duka dalam prosa umat.
Zakiyatul Miskiyah,
Annuqayah_LKC5, 30 Desember 2018
Kepulanganmu Sisakan Kenangan
; KH. A Warist Ilyas
Pada Pebruari yang tertanggal
Bau dupa menjadi penghias lara
Ribuan dzikir terucap
Surat Yasiin tak henti-hentinya mengalun
Annuqayah hujan air mata
Sebab sang Empu telah sampai
Pada pusaran yang telah Allah gariskan
Pada Pebruari yang menanggalkan pilu
Masih terngiang jelas di benak
Akan kepulangan sosok karismatik K. H. A Warist Ilyas
Menghadap Sang Khaliq
Kiprahnya sebagai seorang pemimpin
Sekaligus pengasuh pondok pesantren Annuqayah
Telah mampu menggelarkan beliau
Sebagai salah satu panutan rakyat.
Kewibawaannya telah tersohor
Tak hanya di kalangan pulau madura
Tingkat nasionalpun mengenalnya
Sebagai sosok ulama di Sumenep.
Sosok beliau yang sopan dan santun
Tidak pernah over lappin
Kesan yang paling melekat di mata orang-orang terdekat.
Beliaulah yang mampu menjadi potret
Sosok yang penuh disiplin, baik dalam soal waktu
Dalam bersikap, maupun dalam bekerja.
Sederhana, penuh pengabdian dan istiqamah
Adalah motto hidup beliau.
Oh, beliau yang tegap dan beribawa
Guru dari ribuan santri
Yang disegani baik kawan maupun lawan
Kepulangannya telah meninggalkan
Sembilu di alam raya
Semoga Allah menempatkannya di surga-Nya
Hanya dzikir dan do’a
Yang mampu kami munajatkan pada Allah
Sebagai salam hormat untuk beliau
Dari kami yang menumpang diri.
Helmiyah Marsya, Annuqayah_LKC6, 30 Desember 2018 M.
“Sudah menjadi cita-cita saya, bagaimana nanti masyarakat islami benar-benar dapar terwujud” (K. H. A Warist Ilyas)
Permata Annuqayah
: KH. A. Warits Ilyas
Sebelum waktu memperkenalkanku
Pada samudera ilmu Annuqayah
Kabar kepergianmu telah sampai
Di bumiku seberang timur daya sana
Aku hanya menganga
Bulu kudukku bertanya-tanya
Benarkah Annuqayah telah kehilangan satu permata?
Semua orang pada berunding air mata
dan kesengsaraan yang menjajah hati mereka
perihal cinta yang hilang ditelan nyata
Aku diam mengatupkan
Kedua pelepah bibir
Lantaran ketidaktahuanku
Atas maut yang menjemputmu, Kiai
Kabar berkisah bahwa
Lazuardi berubah hitam
Mengucurkan air mata kala itu
Bukan hanya perasaan dan emosi
Yang tak merelakan panjhenengan pergi
Melainkan semua makhluknya
Sang Khalik ikut bermaktub
Memujamu untuk kembali
Kiai,
Pada saat takdir menyeretku masuk
Ke taman indah Annuqayah
Hanya bekas jejakmu yang menyambut
Jiwa dan akalku yang kosong
Aku meramu niat
Menajuknya dalam kesetiaan
Setia mengabdi dan
Setia berunding hati dengan kondisi
Kiai,
Dengan kelancangan
Karena tanpa pertemuan
Abdhina mohon ridhamu
Atas ilmu yang membelai lembut kalbu
Erliyana Muhsi, Annuqayah LKC5, 30 Desember 2018
Semalam Menghibur Diri
Kami sengaja membendung hati
Membiarkan cerita kami dinikmati oleh langit, dinikmati oleh bumi
Tentang waktu berduka yang terulang di hari ini
Maghrib Annuqayah
Pelan-pelan kami mulai membuang resah
Pada plastik makanan atau belukar di halaman
Barangkali maghrib ini benar-benar dirindukan
Sebagai bentuk ketabahan dan penghormatan untuk Kiai yang tak terlupakan
Di malam bertabur yasin dan wiridan
Keringat kami seperti hujan
Menumbuhkan bulu kuduk dan ingatan
Tentang tingkah laku kewibawaan atau nuansa pilu air mata kepergian
Meski di waktu itu kami adalah bocah ingusan
Yang belum pernah saling berpapasan
Tapi ayah dan guru-guru kami
Akan tetap mengenang luapan cinta keadilan
Yang sejak dulu telah tumbuh menjadi keyakinan
Bahwa kami kelak juga akan menjadi santri Kiai kebanggan
Cahaya bohlam dan gemintang ikut berderu
Ketika pekik suara burung seperti menabuh hati
Berputar-putar mengitari kubah masjid
Kemudian diulang beberapa kali
Di sisi lain kami hanya bisa menyelami kata hati
Berbicara setabah-tabahnya nurani
Kami yang mengunci ingin rapat-rapat
Mengemban amanah menjadi santri
atau menjadi sayap burung yang bergegas pergi
Kembali ke tempat asalnya dengan membawa janji dan mimpi kami
Doa kami disaksikan langit dan bumi
“Semoga kami bersamamu di surga nanti”
Ratna Wulandari, Annuqayah LKC5 30 Desember 2018
Persembahan di Haul
KH. A. Warits Ilyas yang kami cintai