1 Muharram dan Seruan Kesadaran dari Pesantren
378 View
Lubangsa_Langit malam di Lubangsa menggantung tenang, seolah ikut diam merenungi kata-kata yang mengalir dari serambi masjid. Jumat malam, 26 Juni 2025, bukan sekadar malam biasa bagi para santri. Setelah shalat bakda isya, suasana hening diselimuti kesyahduan. Di tengah malam yang bening dan penuh perenungan itu, KH Moh. Shalahuddin A. Warist, hadir menyampaikan tausiah yang tak sekadar menyapa telinga, melainkan mengetuk batin.
Beliau membuka ceramahnya dengan kisah hijrah Nabi Muhammad SAW, sebuah peristiwa monumental yang menandai dimulainya kalender Hijriah. "Tahun Baru Islam bukan sekadar pergantian waktu," dawuh beliau, "melainkan momentum untuk memperbaiki diri." Tausiah malam itu bukan dalam bentuk pidato menggebu, melainkan aliran hikmah yang dalam, mengendap di hati para santri yang mendengarkan penuh khidmat.
Dalam peringatan 1 Muharram, KH Moh. Shalahuddin A. Warits menekankan pentingnya memilih tema yang membangun nilai—bukan sekadar seremonial. Amaliah bulan Muharram seperti membaca Surah Al-Mulk dan berpuasa di hari Asyura' kembali ditekankan sebagai laku spiritual yang patut dirutinkan. Namun, yang membuat malam itu berbeda adalah ketika beliau menyentuh hal yang tak selalu tertulis dalam kitab: berbuat baik.
“Kebaikan bukan hanya yang disebut dalam hadis,” ujar beliau. “Menjaga lingkungan sekitar kita juga bagian dari kebaikan.” Kalimat itu bukan hanya anjuran, tapi cermin prinsip yang hidup di Lubangsa—di mana tidak ada sampah yang dibiarkan tergeletak tanpa tempatnya. Para santri, dengan disiplin sunyi, menjaga pesantren tetap bersih sebagai bentuk ibadah yang nyata.
Pesan lebih dalam disampaikan menjelang akhir tausiah. Beliau mengingatkan para santri untuk memahami esensi keberadaannya. “Pondok pesantren bukan tempat pelarian, tapi tempat kebanggaan. Dan santri tak dilihat dari berapa lama dia mondok, tapi dari sejauh mana ia istiqomah.” Kalimat itu disambut tepuk tangan riuh, bukan karena retorika, tapi karena getar makna yang menyentuh.
Tak ketinggalan, beliau pun menyinggung kondisi global yang mengusik kemanusiaan: perang Iran-Israel. Dengan nada tenang tapi tegas, KH Moh. Shalahuddin A. Warits menyampaikan dampak bom GBU-57A/B yang dijatuhkan enam pesawat B-2 di kawasan bawah tanah Iran. “Kerusakannya signifikan dan sangat sulit diperbaiki,” katanya sambil mengutip pernyataan Trevor Lawrence dari laporan teknologi energi yang dirilis Jawa Pos sehari sebelumnya.
Namun, bukan rasa takut yang beliau tanamkan dari narasi perang itu, melainkan ajakan agar santri tetap kuat dalam pendirian. Dalam badai global yang tak menentu, KH Moh. Salahuddin A. Warits menekankan pentingnya satu hal: istiqomah. Sebuah prinsip yang menjadi fondasi utama dalam mendidik para santri Lubangsa—menjadi pribadi yang teguh memegang nilai, sekalipun angin zaman berganti arah.
Penulis | : Zainurrahman |
Editor | : Moh. Zainur Rozy |